Powered By Blogger

Selasa, 20 Januari 2009

Desentralisasi PPN, Mungkinkah?

Seiring dengan tuntutan reformasi di tanah air, paradigma pembangunan yang tadinya bersifat sentralistik telah berubah menjadi desentralistik. Bila sebelumnya masing-masing daerah di tanah air diatur sepenuhnya dari Jakarta, maka dalam desentralisasi, masing-masing daerah dapat mengedepankan dan memaksimalkan potensinya serta tak lagi diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat.

Dengan desentralisasi, setiap daerah mempunyai otonomi yang lebih luas untuk mencari sumber pembiayaan guna menunjang pembangunan di daerahnya. Sejalan dengan hal ini, pemerintah daerah berharap memiliki kewenangan yang lebih besar pula untuk mengelola sumber penerimaan berupa pajak yang ada di daerahnya. Pada akhirnya, sebagian pemerintah daerah berkeinginan agar desentralisasi fiskal juga diterapkan.

Keinginan sebagian pemerintah daerah itu nampaknya akan diakomodir. Pasalnya, dalam rencana tax reform terdapat isu yang menghangat bahwa akan ada desentralisasi beberapa jenis pajak. Tulisan ini akan menyoroti kemungkinan desentralisasi fiskal tersebut dalam tataran teori. Namun seperti yang terlihat dalam judul yang dapat dibaca di atas, pembahasan hanya difokuskan pada desentralisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Latar Belakang Desentralisasi Fiskal
Dalam konteks reformasi perpajakan, Gunadi (2002) menyatakan bahwa perubahan situasi sosial dan politik di tanah air juga perlu dipertimbangkan karena adanya sinyalemen bahwa pajak pusat mengambil jenis pajak yang sehat dan potensial di daerah serta aspirasi pendaerahan (desentralisasi) pajak pusat perlu ditanggapi dengan sungguh-sungguh.

Karena kalau hal itu tidak dilakukan, masalah perpajakan dapat memicu masalah politik dan menyulut timbulnya masalah lain yang lebih serius seperti ancaman disintegrasi bangsa dan negara. Pemicu utama misalnya, karena kecemburuan atau pendapat adanya disparitas pemanfaatan penerimaan pajak. Daerah A akan merasa diperlakukan tidak adil apabila penerimaan pajak bersumber dari daerahnya, tetapi sebagian besar hasilnya dimanfaatkan oleh daerah B dan lainnya.

Untuk menanggapi aspirasi tersebut perlu kiranya dipikirkan kemungkinan pengurangan sentralisasi dan pengenalan desentralisasi pajak pusat dengan berbagai tata cara dan variasi sistemnya.

Tujuan dan Pelaksanaan Desentralisasi
Reformasi di tanah air nyatanya memang semakin menuntut desentralisasi fiskal. Namun meskipun begitu, desentralisasi fiskal semestinya tidak dilakukan tanpa tujuan yang mendasar. Machfud Sidik, mantan Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI, pernah mengemukakan bahwa tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal setidaknya harus mencakup lima aspek, yaitu:
- Meningkatkan efisiensi, pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah;
- Memenuhi aspirasi daerah;
- Memperbaiki struktur fiskal;
- Memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; serta
- Meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah.

Sementara itu berkaitan dengan pelaksanaannya, Gunadi menjelaskan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi sistem perpajakan dapat dilakukan dengan alokasi penerimaan (revenue sharing) atau alokasi hak pemajakan (tax sharing).

Dalam alokasi penerimaan seperti halnya Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, berdasar kriteria tertentu, penerimaan dari pajak pusat (Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Bea dan Cukai) dapat dialokasikan pada pemerintah daerah. Selain memperhatikan unsur kandungan lokal dari pajak pusat, alokasi tersebut juga harus melihat keperluan dana pemerintah pusat (misalnya pembayaran utang).

Alokasi hak pemajakan pajak pusat ke daerah di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, juga harus memperhatikan unsur kandungan lokal dari objek pajak dan kemampuan atau kemudahan administrasi pelaksanaannya.

Pembagian Wewenang

Selama ini antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah memang terdapat pembagian wewenang perpajakan. Beberapa ahli termasuk Musgrave mengutarakan bahwa dalam pembagian wewenang perpajakan semestinya terdapat aturan main sebagai berikut:
1. Pajak yang bersifat progresif dan untuk tujuan redistribusi pendapatan (pemerataan) seharusnya dipegang oleh pemerintah pusat. Pelimpahan wewenang pajak kepada pemerintah daerah akan semakin menjauhkan dari sasaran pemerataan pendapatan, pemerataan pembangunan daerah dan pemerataan distribusi penduduk yang disebabkan oleh mobilisasi atau perpindahan penduduk. Hal ini tergantung dari fasilitas yang disediakan dan tarif pajak yang diberlakukan. Untuk menghindari distorsi ini hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia menyerahkan hak pemajakan atas PPh khusus kepada pemerintah pusat.
2. Immobile tax bases seperti PBB dan BPHTB sebaiknya untuk pemerintah daerah.
3. Pajak atas sumber daya alam sebaiknya menjadi wewenang pemerintah pusat, karena sumber daya alam tidak terdapat secara merata di semua wilayah. Pemerintah pusat dalam hal ini dapat menggunakan hasilnya untuk tujuan pemerataan wilayah.
4. User taxes dan fees serta lisensi dapat diterapkan pada semua tingkat pemerintahan mengingat kecilnya ancaman distorsi yang mungkin ditimbulkan.

Hal senada juga disampaikan oleh Bird dan Vaillancourt (2000) yang mengemukakan tentang daftar sifat-sifat penting dari sumber-sumber penerimaan daerah yang dianggap ideal yaitu:
Basis (objek) pajak relatif tidak dapat berpindah, untuk memungkinkan pejabat daerah menyesuaikan tarif tanpa harus mengorbankan basis pajak mereka;
Penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis;
Penerimaan pajak harus relatif stabil dan relatif dapat diproyeksikan dengan baik;
Beban pajak diupayakan agar tidak dialihkan ke daerah lain;
Basis (objek) pajak harus dapat dilihat untuk kepentingan akuntabilitas;
Pajak harus dianggap adil oleh Wajib Pajak; dan
Pajak harus relatif mudah dikelola secara efektif dan efisien.

Pembagian fungsi fiskal menurut Musgrave idealnya lebih sentralisasi terhadap fungsi pemerataan pendapatan dan stabilisasi makro ekonomi. Artinya dua fungsi ini dipegang oleh pemerintah pusat, dan lebih desentralisasi terhadap fungsi alokasi pembelanjaan yang bersifat lokal.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa prinsip penetapan pajak daerah yaitu pajak yang mendorong redistribusi pendapatan harus berada di tangan pusat. Pajak yang memiliki basis tidak merata serta pajak faktor produksi yang bergerak (mobile) serta pajak yang mendorong stabilisasi ekonomi juga harus dalam kewenangan pusat. Sedangkan pajak yang memiliki basis tempat tinggal dapat dimiliki oleh pemerintah daerah.

Dengan pertimbangan seperti itu, maka PBB dan BPHTB karena objeknya yang immobile pada dasarnya dapat didesentralisasikan ke daerah. Namun perlu diperhatikan asas efisiensi dalam pemungutannya dalam artian bahwa pajak yang dipungut harus lebih besar dari biaya pemungutannya. Sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) -karena mobilitas objek pajaknya bersifat nasional dan berlaku global- pendaerahannya agak rumit dan memerlukan pertimbangan yang seksama dan hati-hati.

Sesuai dengan kandungan lokal dari objek pajak, maka beberapa elemen PPh dapat didaerahkan, misalnya PPh Pasal 21 atas karyawan yang telah diserahkan kewenangannya pada daerah tempat sumber dari penghasilan tersebut berada (source atau place of origin). Dengan mengadopsi pendekatan 'place of origin' dari beberapa kategori penghasilan tersebut, nampak bahwa dari PPh pusat dapat lebih terfokus pada PPh bisnis dan penghasilan lain yang belum terjamah pendaerahan (terutama yang berasal dan luar negeri). Sebagai akibatnya, maka sentralisasi PPh Pasal 21 tidak diberlakukan, agar revenue sharing tidak terdistorsi.

Pendaerahan PPN

PPN dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dari Pajak Keluarannya, memerlukan pemikiran yang seksama untuk pendaerahannya. Pendaerahan PPN dapat menyebabkan ketidakseimbangan penerimaan antar daerah. Ketimpangan tersebut dapat terjadi misalnya daerah A memungut pajak atas input yang hanya menjadi Pajak Masukan tanpa Pajak Keluaran , sedang daerah B memungut pajak atas output yang hanya menjadi Pajak Keluaran. Hal ini akan menyebabkan daerah A mengembalikan PPN Masukan (sehingga tidak ada penerimaan pajak), sementara daerah B menerima PPN sepenuhnya. Dengan pemberlakuan destination principle, daerah A dianggap sebagai origin place, mengekspor ke daerah B yang dianggap sebagai destination place. Hal ini tentu akan mempersulit dan meningkatkan biaya administrasi pemungutan pajak.

Selain itu, alokasi penerimaan PPN sebagaimana layaknya pajak atas konsumsi perlu memperhatikan apakah menganut dasar tujuan (destination base VAT), dengan mengalokasikan penerimaan pajak pada daerah tempat barang dikonsumsi, atau dasar asal barang (origin base VAT) dengan mengalokasikan penerimaan pajak pada daerah asal/produksi barang.

Tergantung pada situasi tiap daerah, perebutan antara dasar destination atau origin ini tentu merupakan perdebatan yang tidak akan pernah berakhir, atau paling tidak sangat alot karena akan mengakibatkan hilangnya penerimaan pajak suatu daerah.

Transformasi PPN menjadi pajak penjualan ritel (retail sales tax), dengan mengenakan pajak (hanya sekali) pada pedagang pengecer seperti di Amerika Serikat, mungkin merupakan solusi yang pantas dipertimbangkan. Namun hal itu meminta kesiapan administrasi dari para pedagang ritel, yang rasanya amat sulit diterapkan di Indonesia saat ini.

Alternatif lain ialah pengenaan pajak penjualan sekali pada tingkat produsen, atau mungkin justru alokasi penerimaan antara pemerintah pusat dan daerah berdasar kriteria tertentu dengan tetap mempertahankan PPN sekarang dengan beberapa perbaikan. Di beberapa negara federal yang mengenakan PPN, seperti Jerman dan Kanada, PPN hanya dikenakan sekali pada tingkat pabrikan. Hal ini berbeda dari pengenaan PPN di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, dibutuhkan kajian yang komprehensif dari berbagai aspek untuk menentukan apakah suatu jenis pajak dapat didesentralisasikan atau tidak, kemudian jenis desentralisasi apa yang digunakan yaitu revenue sharing atau tax sharing? Hal ini penting agar keputusan desentralisasi fiskal yang diambil dapat memberikan manfaat yang maksimal dengan tingkat kegagalan atau distorsi yang minimal.

Catatan :
artikel ini pernah dimuat di Indonesian Tax Review vol. 6 nomor 09 tahun 2007
halaman 2 -6
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=90173

Senin, 12 Januari 2009

The Founding Fathers Dream


Ketika para perintis kemerdekaan Indonesia merumuskan harapan mereka terhadap negara-negara bangsa merdeka yang waktu itu hendak mereka ciptakan, ada tiga harapan yang diutamakan (Mas’oed. 1997). Pertama, Negara–negara itu harus mampu mengusahakan terwujudnya kemakmuran bagi rakyat yang sudah beratus-ratus tahun hidup dalam kemiskinan. Artinya, pemerintah harus mampu mendorong agar rakyat bias meningkatkan produktifitas kerja mereka. Kedua, dalam proses peningkatan kemakmuran itu rakyat mesti dilibatkan dalam setiap tahap, mulai perancangan, pelaksanaan sampai pemanfaatan hasilnya. Dengan kata lain, peningkatan kemakmuran itu harus dilakukan serempak dengan upaya menciptakan demokrasi. Yang terakhir, upaya menciptakan kemakmuran dan demokrasi tidakboleh mengganggu kemerdekaan atau otonomi nasional. Tegasnya pencapaian kemakmuran itu jangan sampai menimbulkan ketergantungan Indonesia pada Negara-bangsa lain.

Pada prinsipnya saat “the Founding Fathers” merencanakan berdirinya republik ini mereka berpendapat bahwa negara yang akan dibangun nantinya harus mandiri dan tidak tergantung pada bangsa-bangsa manapun di dunia ini dan dibangun atas dasar demokrasi yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Sehubungan dengan hal itu para penyusun konstitusi kita mencantumkan demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal tersebut, “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,untuk semua, dibawah kepemimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Prioritas utama politik perekonomian yang demokratis adalah diletakkannya kemakmuran masyarakat diatas kemakmuran orang seorang juga bukan kemakmuran kelompok.

Krisis ekonomi yang diawali dengan melemahnya mata uang kemudian disusul dengan krisis perbankan di tanah air pada tahun 1997 seakan menyadarkan kita bahwa kebijakan yang selama ini ditempuh ternyata menyimpang jauh dari cita-cita yang telah dicetuskan oleh para pendahulu bangsa. Kita terjerat dalam kubangan krisis yang diakibatkan oleh utang luar negeri yang sangat besar. Kenyataan tersebut membuat kita terhenyak dan tersadar bahwa selama ini pembangunan yang dilaksanakan tidak bertumpu pada kekuatan sendiri sebagaimana yang dulu terkenal dengan berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan utang luar negeri, namun yang menjadikannya sebagai masalah yaitu apakah utang itu benar-benar diperlukan dan bagaimana pengelolaan utang itu sendiri. Krisis ekonomi yang melanda negeri kita disebabkan karena utang luar negeri yang seharusnya hanya sebagai pelengkap malah dijadikan sumber utama pembiayaan. Belum lagi salah kelola atas utang tersebut seperti utang jangka pendek digunakan untuk membiayai pembangunan proyek jangka panjang. Karena itu kita mencari sumber pembiayaan alternatif setelah minyak bumi yang dulunya selalu memberikan windfall profit malah sekarang tidak bisa lagi dinikmati karena posisi negara kita yang telah berubah menjadi net importer minyak

PERMAINAN

Bermainlah dalam permainan
Tetapi janganlah main-main
Bermainlah dengan sungguh sungguh
Tetapi permainan janganlah dipersungguh
Kesungguhan permainan
Terletak pada ketidaksungguhannnya
Permainan yang dipersungguh
menjadi tidak sungguh
Bermainlah dengan cinta
Tetapi jangan mempermainkan cinta
Bermainlah dengan keperkasaan
Tetapi jangan mempermainkan keperkasaan
Bermainlah untuk bahagia
Tetapi jangan mempermainkan bahgia
Barangsiapa mempermainkan permainan
Akan menjadi permainan permainan

Apa yang paling anda inginkan agar ditambahkan dalam blog ini?